TEMPO.CO, Probolinggo - Rawon Nguling, sebuah restoran di perbatasan antara Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, dan Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu tempat kuliner yang berada di ruas bekas Jalan Pos Daendels, di Kabupaten Probolinggo. Restoran yang kini dikelola oleh generasi ketiga pasangan suami istri almarhum Karyoredjo dan Marni itu dirintis sejak 1942.
Rofik Ali Pribadi, cucu menantu sekaligus juru bicara keluarga kepada TEMPO menceritakan kisah warung yang populer di kalangan para pengguna jalur nasional antar provinsi di pantai Utara Jawa Timur bagian Timur ini. Pada mulanya, warung ini warung kecil yang berada di bawah Pohon Trembesi (Slubin) dan masih berupa anyaman bambu (gedhek). "Para pelanggannya adalah petani, pencari rumput dan penarik andong (dokar)," kata suami Ratnawati ini saat ditemui di kantornya di Kota Probolinggo.
Pengguna jalan jalur lintas provinsi ini, waktu itu adalah andong alias dokar. "Masih jarang kendaraan bermesin," ujar Rofik yang juga mendapat kisah tersebut secara turun temurun dari mertuanya, pasangan almarhum M Dahlan dan Siti Fatimah Dahlan, generasi kedua Rawon Nguling.
Ketika masih berupa warung gedhek, menu yang disajikan setiap harinya hanya rawon, ketan, kopi, dan teh. "Air putih ada di dalam kendi yang ditaruh di luar warung. Setiap orang yang lewat boleh minum air kendi itu kendati tidak beli makan di warung," kata Rofik.
Saat itu warung buka setiap hari mulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Beras yang dimasak hanya satu hingga dua kilogram saja. "Kalau satu kilogram hanya cukup untuk 10 orang, berarti pelanggannya tidak lebih dari 20 orang saja setiap hari," kata dia.
Pelanggan yang banyak saat itu adalah yang membeli kopi. "Yang ramai adalah yang ngopi," kata Rofik. Warung itu dulunya memang tempat untuk angkringan. "Tempat berhenti atau istirahat sejenak warga yang melintas jalan itu," katanya.
Usaha warung yang dirintis almarhum pasutri ini terus berkembang seiring berjalannya waktu. Dari yang bangunan warungnya secara keseluruhan dari bambu bahkan meja dan kursi di dalamnya dari bambu, kemudian menjadi semi permanen ketika diteruskan oleh generasi kedua yakni, almarhum pasutri M Dahlan dan Fatimah Dahlan sekitar tahun 1960-an. Di tangan almarhum suami-istriini, warung terus berkembang seiring dengan jalan raya yang kian lebar serta mulai banyaknya kendaraan bermesin yang melewati Jalan Daendels ini.